Pengakuan terhadap hak asasi setiap individu anak
bangsa untuk menuntut pendidikan pada dasarnya telah mendapatkan pengakuan
secara legal sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945 pasal
31 ayat (1) yang berbunyi bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan. Oleh karena itu, seluruh komponen bangsa yang mencakupi orang tua,
masyarakat, dan pemerintah memiliki kewajiban dalam bertanggung jawab untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan. Mengenai tanggung jawab
pemerintah secara tegas telah dicantumkan di dalam Undang-undang Dasar 1945
pasal 31 ayat (3) yang menyatakan bahwa pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang
diatur dengan undang-undang.
Terkait dengan pernyataan
tersebut, sejak tanggal 8 Juli 2003, pemerintah telah mengesahkan Undang-undang
RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menggantikan
Undang-undang No. 2 tahun 1989 yang dianggap sudah tidak memadai lagi.
Pembaharuan Sistem Pendidikan Nasional dilakukan untuk memperbaharui visi,
misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Dalam Undang-undang No. 20
tahun 2003 tersebut secara tegas memperkuat tentang amanat Undang-undang Dasar
1945 pasal 31 tentang pendidikan.
Secara retorik kedua ayat
tersebut, telah cukup dapat dipergunakan sebagai jawaban atas tuntutan
reformasi di bidang pendidikan yakni diberinya peluag bahkan dalam batas
tertentu diberikan kebebasan, kepada keluarga dan masyarakat untuk mendapatkan
dan menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan minat dan kebutuhan masyarakat
serta sesuai dengan kondisi dan tuntutan lapangan kerja. Hal ini berarti bahwa
intevensi pemerintah yang berlebihan dalam penyelenggaraan pendidikan perlu
ditiadakan, dikurangi, atau setidaknya ditinjau kembali hal-hal yang sudah
tidak relevan.
Dalam kaitannya dengan
masyarakat belajar (learning society)
perlu diberikan kebebasan kepada masyarakat untuk dapat memilih belajar sesuai
dengan kebutuhan dan minatnya sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan
undang-undang dan falsafah negara. Demikian pula halnya dengan pelaksanaan
prinsip belajar seumur hidup.
Selama inimemang kebijakan
pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan telah menuju pada upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga secara konseptual pemerintah telah
melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan undang-undang. Namun scara
realitas masih cukup banyak diantara kelompok usia sekolah yang tidak/belum
dapat menikmati pendidikan karena alasan tertentu, baik karena
ketidakterjangkauan biaya, tempat maupun kesempatan, sehingga hak mereka seolah
“terampas” dengan sendirinya.
Demokratisasi,
Transformasi Sosial
Sebagaimana telah disinggung
dalam pendahuluan bahwa secara substansial, demokratisasi pendidikan diartikan
sebagai hak setiap warga negara atas kesempatan yang seluas-luasnya untuk
menikmati pendidikan. Dalam hal ini, kesempatan setiap warga negara dalam
mengikuti pendidikan juga tidak didasarkan atas diskriminasi tertentu. Hal ini
sesuai dengan bunyi pernyataan Undang-undang No. 20 tahun 2003 pasal 4 ayat (1)
yaitu: “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi ha asasi manusia, nilai keagamaan, nilai
kultural, dan kemajemukan bangsa.
Kehidupan demokrasi dalam
bidang pendidikan merupakan tindakan menghargai keberagaman potensi individu
yang berbeda dalam kebersamaan. Denan demikian segala bentuk penyamarataan
individu dalam satu uniformitas dan pengingkara terhadap keunikan sifat
individu bertentangan dengan salah satu prinsip demokrasi.
Dari hak-hak warga negara
dalam mengikuti pendidikan tersebut tersirat adanya dua hal penting, yaitu:
pertama, pemerolehan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan dalam batas
tertentu yakni pada level pendidikan dasar sembilan tahun; kedua, adanya
peluang untuk memilih satuan pendidikan sesuai dengan karakteristiknya.
Demokratisasi pendidikan bukan
hanya sekedar prosedur, tetap juga nilai-nilai pengakuan dalam kehormatan dan
martabat manusia. Dalam hal ini melalui upaya demokratisasi pendidikan
diharapkan mampu mendorong munculnya individu yang kreatif , kritis, dan
produktif tanpa harus mengorbankan martabat dan dirinya.
Dalam kenyataan diteui adanya
perbedaan perlakuan terhadap masyarakat atas hak-hak tersebut dalam menikmati
pendidikan. Menurut kajian Mely G. Tan (1990) menunjukkan adanya dua kenyataan
yakni yang bersifat terbuka yang berdasarkan kemampuan akademik dan ikhtiar
pribadi, sedangkan yang lain bersifat tertutup yaitu yang berdasarkan golongan
atau keturunan. Dengan adanya demokratisasi pendidikan, maka dengan sendirinya
secara prinsip akan lebih memenangkan yang bersifat terbuka, sehingga setiap
warga negara dalam menikmati pendidikan seharusnya tidak lagi didasarkan atas
kabilah atau kelompok tertentu saja yang memiliki uang dan/atau kekuasaan.
Perkembangan global yang salah
satunya ditengarai oleh berkembangnya berbagai industrialisasi, perkembangan
ekonomi, dan informasi yang sedemikian cepat memiliki pengaruh yang besar
terhadap munculnya kategori kelompok-kelompok lapisan masyarakat. Era
industrialisasi yang dibarengi dengan gencarnya informasi mendorong munculnya
persepsi knowledge is power (Drucker,
1989:237). Keburuhan terhadap pendidikan juga semakin bervariasi, baik yang
bersift formal maupun non-formal dengan penyelenggara yang beraneka ragam.
Pusat-pusat informasi baik yang melalui media elektronik maupun cetak dari
dalam maupun luar negeri dengan mudah dapat diperoleh. Dapatkah realitas ini
menciptakan ketidakberpihakan antara yang menguasai dan tidak menguasai knowledge. Hal ini menjadi sangat
penting ketika menyangkut akses, alokasi, serta distrbusi sumber-sumber infomrasi
bagi masyarakat umum. Masalahnya terletak pada bukan saja siapa yang mempunyai
akses terhadap sumber informasi, tetapi juga adakah mekanisme yang demokratis
bagi para anggota masyarakat untuk memiliki akses terhadap sumber informasi.
Kebutuhan akan hal ini sangat penting dan mendesak, karena seperti kata Drucker
(1989:239), kita juga mengetahui bahwa knowledge
workers tidak hanya menjadi leaders tetapi juga rulers yang mempengaruhi the
forces of change.
Mely G. Tan (1990:192-193)
berpendapat bahwa terbentuknya lapisan masyarakat yang “cukup tahu” berkat
akses informasi yang dimilikinya sebagaimana tersebut diatas, akan
mengakibatkan tuntutan-tuntutan yang menyangkut berbagai kebebasan yang berhubungan
dengan kualitas hidup. Termasuk juga tuntutan agar dihapusnya berbagai bentuk
monopoli ekonomi maupun keterbukaan dalam kehidupan berpolitik. Proses semacam
ini menuntut adanya relasi kemasyarakatan yang demokratis.
Secara esensial, salah satu
tanggung jawab dari pelaksanaan Sistem Pendidikan Nasional dalam transformasi
sosial yang tengah berlangsung adalah menanamkan dan mengoperasikan etos,
nilai, dan moralitas bangsa dalam menerima dan mengelola informasi yang silih
berganti, menjadi aset dalam meningkatkan kualitas dirinya. Dalam desain
pembelajaran secara eksplisit membuka peluang secara lebar terhadap penggunaan
kemampuan nalar dalam mengelola dan mengambil keputusan terhadap perubahan yang
dihadapi, yang semuanya tersaji dalam bentuk integralistik dalam pendidikan,
sehingga menjadikan knowledge people have
to learn to take responsibility.
Program
Wajib Belajar Pendidikan Dasar
Program wajib belajar secara
menyeluruh pada level pendidikan dasar di Indonesia merupakan keputusan
politik yang tak dapat diabaikan. Asumsi yang mendasari pentingnya keputusan
politik tersebut, secara legal formal tertuang dalam Undang-undang No. 20 tahun
2003 pasal 6 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara yang berusia
tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.” Hal ini
penting sebagai suatu batas minmal bagi seseorang agar dapat hidup secara
efektif, efisien, dan produktif di dalam masyarakat. Melalui wajib belajar
sembilan tahun, berarti bahwa semua warga negara yang berumur 9-15 tahun akan
dipersiapkan sedemikian rupa melalui pendidikan untuk kelak menjadi warga
negara yang dapat memainkan perannya secara terbuka dan demokratis. Mengingat
strata kelompok ini cukup besar dan cenderung bertambah, maka kehadirannya
menjadi penting untuk diperhitungkan.
Kelompok tersebut merupakan
basis yang cukup memadai bagi proses sosialisasi dan kualifikasi dalam
pembentukan well informed rulers and
leader sebagai suatu ciri yang penting dalam masyarakat informasi masa
depan. Sehubungan dengan hal ini, tentunya juga perlu dipikirkan model program
wajib belajar yang tepat sesuai dengan konsep pendidikan seumur hidup versi Indonesia. Hal
ini mengingat kompleksitas problema yang dihadapi oleh siswa dalam konteks
kehidupan dan budaya yang menyatu dengan kehidupannya. Untuk menghadapi hal
ini, rentangan usia wajib belajar sebaiknya tidak merupakan harga mati,
sehingga memungkinkan terjadinya model pembelajaran multi-entry-multi-exit
khususnya pada pelaksanaan wajib belajar. Dengan demikian, seseorang dapat
dengan fleksibel mengatur kondisi dirinya dengan peluang yang tersedia pada
masa-masa dimana dia dapat belajar dan bekerja.
Mengacu pada model ini
diharapkan dapat memberikan peluang kepada siapa yang hendak memasuki dunia
kerja terlebih dahulu atau sebaliknya, karena ada jaminan bagi dirinya untuk
memilih dan mengikuti pendidikan tertentu sesuai dengan kurun waktu yang
diaturnya sendiri. Artinya bahwa dalam rangka demokratisasi pendidikan tidak
lagi disekat dengan kurun waktu tertentu oleh para pengambil kebijakan, tetapi
juga dimanfaatkan kapan saja mereka mau. Sebagai konsekuensi logis dari
penerapan model ini adalah hilangnya garis pemisah antara masyarakat terdidik,
setengat terdidik, maupun tidak terdidik.
Kurikulum
Disadari bahwa secara
konseptual, pemahaman terhadap kurikulum mendapatkan pemaknaan yang sangat
beragam. Para pakar kurikulum pun memberikan
jawaban yang bervariasi, sesuai dengan sudut pandang kajian maupun aspek materinya
yang sedemikian luas untuk dapat dijelajahi. Bahkan dari hal-hal yang paling
konkret hingga yang paling abstrak sekalipun dapat dijadikan semacam argumen
dalam memberikan pemaknaan terhadap kurikulum.
Walau demikian, hal yang
secara substansial perlu dicermati dan dijaga adalah adanya upaya pencegahan,
sehingga tidak terjadi proses simplifikasi pemahaman terhadap makna kurikulum
itu sendiri. Terjadinya keterjerumusan kita pada miskonsepsi terhadap
pengembangan kurikulum antara lain sebagai akibat dari proses simplifikasi
pemahaman terhadap kurikulum, sehingga terjebak memaknai kurikulum dalam arti
yang sangat sempit. Sehubungan dengan ini, hal yang perlu dipertimbangkan dalam
merancang bangun kurikulum pendidikan dasar untuk masa depan.
Sebagai konsekuensi dari
miskonsepsi terhadap pengembangan kurikulum adalah terjadinya “malpraktek”
pendidikan yang pada gilirannya berdampak pada rendahnya peran serta guru dalam
proses pembelajaran di kelas.
Agar terhindar dari tindakan
simplifikasi pemahaman terhadap kurikulum, maka ada baiknya jika secara singkat
dibahas mengenai konsep kurikulum dalam arti luas, sehingga dapat dicermati
kapan dan bagaimana guru dapat memberikan kontribusinya dalam proses
pengembangan kurikulum.
Dalam literatur memang banyak
ditemukan definisi kurikulum yang sangat bervariasi, bergantung pada konteks
tertentu saat para pakar mendefinisikannya. Namun demikian, menurut Beane, dkk
(1986) dinyatakan bahwa konsep kurikulum dapat diklasifikasikan ke dalam empat
jenis pengertian yang meliputi: (1) kurikulum sebagai produk; (2) kurikulum
sebagai program; (3) kurikulum sebagai hasil yang diinginkan; dan (4) kurikulum
sebagai pengalaman belajar bagi peserta didik.
Kurikulum sebagai produk
merupakan hasil perencanaan, pengembangan, dan perekayasaan kurikulum.
Pengertian ini memiliki keuntungan berupa kemungkinan yang dapat dilakukan
terkait dengan arah dan tujuan pendidikan secara lebih konkret dalam sebuah
dokumen yang untuk selanjutnya diberi label kurikulum. Oleh karena itu,
kurikulum dalam arti produk merupakan hasil yang konkret yang dapat diamati
dalam bentuk dokumen hasil hasil kerja sebuah tim pengembang kurikulum. Kiranya
pelu juga diingat bahwa definisi tersebut juga memiliki kelemahan yakni adanya
pemaknaan yang sempit terhadap kurikulum. Dalam hal ini kurikulum hanya
dipandang sebagai dokumen yang memuat serentetan daftar pokok bahasan materi
dari suatu mata pelajaran. Belum lagi jika kurikulum hanya dipahami sebagai
produk berupa kemungkinan munculnya asumsi bahwa perencanaan kurikulum dapat
mendeskripsikan semua kegiatan pembelajaran yang akan terjadi di sekolah. Untuk
konteks lingkup pendidikan dewasa ini, rasanya akan kesulitan untuk dapat
mengakomodir semua fenomena kehidupan yang sangat dinamis.
Kurikulum sebagai program
secara esensial merupakan kurikulum yang berbentuk program-program pengajaran
secara riil. Dalam bentuk yang ekstrim, kurikulum sebagai program dapat
termanifestasikan dalam serentetan daftar pelajaran ataupun pokok bahasan yang
diajarkan pada kurun waktu satu semester. Elaborasi atas interpretasi yang
lebih luas dari definisi tersebut dapat mencakupi aspek-aspek akademik yang
kemungkinan perlu dimiliki oleh sekolah dalam kerangka kegiatan pembelajaran
suatu kajian ilmu tertentu. Keuntungan yang dapat diambil dari cara pandang ini
yaitu (1) dengan cepat dapat menunjukkan dan menjelaskan apa yang dimaksud
dengan kurikulum lebih konkret, (2) dapat memahami bahwa kegiatan pembelajaran
dapat terjadi dalam setting yang berbeda pada jenjang yang berebda. Sementara
itu, kelemahannya adalah munculnya asumsi bahwa apa yang tampak dalam daftar
pokok bahasan, itulah yang harus dipelajari oleh siswa.
Sementara itu, yang memandang
kurikulum sebagai hasil belajar yang ingin dicapai oleh para siswa,
mendeskripsikan kurikulum sebagai pengetahuan, keterampilan, perilaku, sikap,
dan berbagai bentuk pemahaman terhadap bidang studi. Walau pengertian ini lebih
konseptual, namun hasil belajar yang diinginkan siswa juga sering dtuangkan
dalam bentuk dokumen seperti halnya tujuan belajar, seperangkat konsep yang
harus dikuasai, prinsip-prinsip belajar, dan sebagainya. Keuntungan dari cara
pandang seperti ini berupa (1) kurikulum menjadi sebuah konsep, yang
selanjutnya dapat dikembangkan dan dielaborasikan oleh guru, siswa, dan
masyarakat, sehingga tidak sekedar produk semata yang secara “ritual” harus
diajarkan sebagaimana adanya tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan kultural
baik di sekolah maupun di masyarakat, (2) dapat menyusun kurikulum menjadi
lebih manageable baik dari segi scope maupun sequen-nya. Adapun kelemahannya adalah adanya kesulitan bagi para
guru maupun sekolah dalam menangani secara terpisah apa yang harus dipelajari
oleh siswa dan cara mempelajarinya.
Untuk yang terakhir yang
memberikan pemaknaan kurikulum sebagai pengalaman belajar, pada hakikatnya
merupakan pemisahan yang sangat jelas dari tiga pemaknaan sebelumnya. Pemaknaan
kurikulum yang terakhir ini lebih merpakan akumulasi pengalaman pendidikan yang
diperoleh siswa sebagai hasil kegiatan belajar atau pengaruh situasi dan
kondisi belajar yang telah direncanakan. Sebagai konsekuensinya, apa yang
direncanakan dalam kurikulum belum tentu berhasil sebagaimana yang diharapkan.
Hal ini tentu banyak faktor yang mempengaruhinya, seperti halnya kemampuan guru
dalam menerapkan dan mengembangkan kurikulum dalam proses pembelajaran. Artinya
sebaik apapun kurikulumnya bila tidak didukung oleh guru yang profesional,
tentu tidak banyak memberikan makna terhadap siswa, demikian pula sebaliknya.
Keuntungan dari pemaknaan
tersebut setidaknya ada dua hal, yaitu: (1) pihak guru maupun sekolah lebih
memusatkan perhatiannya pada siswa dalam proses pembelajaran, (2) guru akan
lebih melibatkan semua pengalaman siswa. Walau demikian, ada pula kelemahannya,
yaitu: (1) kurikulum terasa lebih abstrak dan kompleks jika dibandingkan dengan
pemahaman sebelumnya, dan (2) kurikulum menjadi sangat komprehensif, sehingga
tidak dapat dideskripsikan dalam bentuk yang sederhana. Sebagai konsekuensinya
muncul terminologi mengenai kurikulum eksplisit (tertulis) dan implisit (tidak
tertulis) atau kurikulum tersembunyi (hidden
curriculum).
Keterlibatan
Guru
Proses implementasi kurikulum
di sekolah sangat dipengaruhi oleh peran guru, artinya tanpa profesionalitas
guru yang baik, kurikulum hanya akan berwujud dokumen sekolah yang tidak
terlalu bermakna bagi proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, guru
perlu terlibat dalam pengembangan kurikulum. Tanpa adanya keterlibatan guru
dalam pengembangan kurikulum, pembelajaran di sekolah hanya akan menghasilkan
verbalisme. Para siswa akhirnya tidak tahu
akan berbuat apa dengan pengetahuan yang telah dihafalnya. Keberadaan semacam
ini jika kita meminjam istilah Paulo Freire (1970:58) selanjutnya akan dapat
“menjerumuskan” guru pada model pendidikan “banking”
melalui ungkapannya: “Education thus
become an act of depositing, in which
the student are the depositories and the teacher is the deposior. Instead of cummunication, thew teacher issues communiques and makes
deposits which students patiently receive, memorize, and repeat. This is the banking concept of education, in which the scope of action allowed to the
students extends only as far as receiving, filling, and storing the
deposits.”
Terkait dengan ungkapan
tersebut, Scheerens (1992:8) memasukkan karakteristik pembelajaran pada
masing-masing kelas sebagai salah satu determinan bagi efektivitas suatu
sekolah. Sekolah dikatakan efektif, bilamana proses pembelajarannya dapat
mencapai tujuan yang ditetapkan dengan baik dan berimplikasi pada upaya guru
dalam mengembangkan sistem pembelajaran secara profesional berdasarkan
kurikulum yang ditetapkan.
Secara profesional, sebenarnya
guru tidak dapat menghindarkan diri untuk tidak melibatkan dalam proses
pengembangan kurikulum, artinya dalam kinerjanya guru tidak semata-mata
mengejar target pencapaian kurikulum dalam arti produk. Dengan demikian siswa
tidak hanya mendapatkan pengalaman yang bersifat tekstual, tetapi juga
kontekstual dan kontemporer.
Hubungan fungsional antara
guru dan kurikulum sebagaimana yang telah disinggung di atas tampaknya masih
kurang mendapatkan perhatian dalam praktek pendidikan kita selama ini. Guru
masih sering dianggap sebagai pihak yang berada di luar proses pengembangan
kurikulum, sehingga jarang atau bahkan tidak pernah merasa bahwa mereka
seharusnya memiliki peran didalamnya. Situasi semacam ini akan membuka peluang
lahirnya “ritual” proses pembelajaran di sekolah yang secara kurikuler telah
melakukan “malpraktek”.
Agar siswa memiliki kemampuan
dalam menganalisis persoalan-persoalan secara individual maupun kelompok, maka
guru perlu dilibatkan dalam proses pengembangan kurikulum. Tanpa keikutsertaan
guru dalam mengembangkan kurikulum ke dalam konseptualisasi dan
eksperiensialisasi dalam pembelajaran yang dilakukan, maka para siswa hanya
akan dijadikan tempat “deposito” berbagai infomasi yang tidak jelas manfaatnya
bagi tantangan masa depan yang dihadapinya.
Penutup
Demokratisasi pendidikan merupakan suatu kebijakan yang
sangat didambakan oleh masyarakat. Melalui kebijakan tersebut, diharapkan
peluang masyarakat untuk menikmati pendidikan menjadi semakin lebar sesuai
dengan kemampuan dan kesempatan yang dimiliki. Jurang pemisah antara kelompok
terdidik dan belum terdidik menjadi semakin terhapus, sehingga informasi
pembangunan tidak lagi menjadi hambatan. Ungkapan pendidikan untuk semua dan
semuanya untuk pendidikan diharapkan bukan sejedar wacana tetapi sudah harus
merupakan komitmen pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkannya. Dengan
demikian, isu tentang besarnya putus sekolah, elitisme, ketidak-terjangkauan
dalam meraih pendidikan, dan seterusnya.Diposkan Oleh Aditia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar